Senin, 30 Juni 2008

Tauhid Af'al

Bismillahir Rahmanir Rahim
Allahumma Sholli 'Ala Muhammad
Pada pasal ini menjelaskan tentang tauhid af'al yaitu mengesakan Allah Ta'ala pada segala perbuatan. Seorang salik hendaknya melatih diri untuk memandang dan menyaksikan dengan pandangan batin bahwa perbuatan apa saja yang terjadi pada Alam ini pada hakikatnya adalah af'al ( perbuatan-perbuatan ) Allah Ta'ala.

Perbuatan itu ada dua macam, Pertama adalah perbuatan baik pada rupa dan baik pula pada hakikatnya seperti iman dan taat. Kedua adalah perbuatan yang jahat pada rupa namun tidak jahat pada hakikatnya seperti kufur dan maksiat.



Kufur dan maksiat itu pada hakikatnya adalah baik juga karena semuanya itu berasal dari Allah Ta'ala. Segala yang berasal dari Allah Ta'ala itu pada hakikatnya adalah baik. Adapun perbuatan itu dikatakan jahat pada rupa karena menyalahi ketentuan hukum syari'at.

Cara bagi seorang salik untuk dapat melakukan pandangan dan penyaksian (syuhud) sebagaimana tersebut diatas adalah dengan berkeyakinan bahwa segala perbuatan yang disaksikan oleh mata jasmani hendaknya ditanggapi dengan hati bahwa semua itu adalah af'al Allah Ta'ala, termasuk juga perbuatan dirinya sendiri.

Proses perbuatan yang terjadi dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni mubasyarah dan tawallud.
*
Perbuatan mubasyarah adalah perbuatan yang beserta dengan qudrah atau kekuasaan seperti gerakan pena ditangan penulis.
* Adapun perbuatan tawallud adalah perbuatan yang terjadi sebagai hasil dari perbuatan yang mubasyarah, seperti gerakan batu yang lepas dari tangan orang yang melemparnya.

Namun demikian, kedua macam perbuatan ini yakni mubasyarah dan tawallud ini pada hakikatnya adalah perbuatan Allah Ta'ala juga, sebagaimana Firman-Nya di dalam Al-qur'an
" Wallahu khalaqakum wa ma ta'maluun "
Artinya : Allah telah menciptakan kamu dan apa saja yang kalian senantiasa perbuat.

S
emua perbuatan yang sedang atau akan dilakukan makhluk telah diciptakan oleh Allah Ta'ala. Syaikh Sulayman al-Jazuli r.a. menjelaskan dalam syarah Kitab Dalailul-Khayrat bahwa segala sesuatu yang dilakukan oleh seorang hamba, baik perkataan, perbuatan, sikap, gerak, dan diamnya, semua itu sudah ada dalam qadha' ( ketentuan ) dan qadar ( ketetapan ) Allah Ta'ala, sebagaimana firman-Nya :
" Wa ma ramayta idz ramayta wa lakinnallaha rama "
Artinya : Bukan engkau yang melempar ( hai Muhammad ) saat kamu melempar, tetapi Allah yang melempar.

" La hawla wa la quwwata illa billahil-aliyyil-'adhim "
Artinya : Tidak ada daya dan tidak ada kekuatan kecuali bersama Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung.

" La tahzarraku dzarratun illa bi'idznillah "

Artinya : Tidak bergerak satu atom pun kecuali dengan izin Allah

Apabila seorang salik telah berhasil ber-musyahadah ( menyaksikan dalam pandangan batinnya) dan kokoh keyakinannya dalam bertauhid af'al ini, maka terlepaslah dia dari belenggu syirik khafi. Segala perbuatan yang melekat makhluk adalah wujud perbuatan yang majazi atau simbul saja. Pandangan itu akan lenyap oleh karena tampak nyatanya Nur Wujud Allah yang hakiki.

Seorang salik hendaknya terus menerus pandangan ini sehingga ia akan sampai pada maqam kedudukan wihdatul-af'al ( keesaan perbuatan ). Pada maqam ini, terasa baginya bahwa semua perbuatan makhluk itu lenyap dan fana' oleh sebab tampak jelas adanya perbuatan Allah Ta'ala.

Semua perbuatan makhluk, apakah perbuatan itu baik ataupun buruk adalah perbuatan Allah, sebagaimana ketika Rasulullah s.a.w. berdo'a kepada-Nya :
" Allahumma inni a'udzubika minka "
Artinya : Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ( kejahatan ) dari-Mu.

Allah menegaskan dalam firman-Nya :
" Qul kullun min 'indillah "
Artinya : Katakanlah : Segala sesuatu berasal dari Allah

Sebagian dari para 'arif billah memberikan perumpamaan tentang hal ini dengan perumpamaan wayang dengan dalangnya. Semua gerak wayang ditentukan sepenuhnya oleh sang dalang. Namun maha suci Allah dari segala perumpamaan.

Untuk itu jelaslah bahwa semua perbuatan makhluk itu pada dasarnya adalah perbuatan Allah. Namun hal ini tidak berarti bahwa hukum-hukum syari'at menjadi batal. Seorang salik harus tetap berpegang teguh pada syari'at Nabi Muhammad s.a.w.

Jalan terbaik adalah berkeyakinan teguh dalam musyahadah tauhid af'al dan tetap berpegang erat pada hukum syari'at agama. sehingga akan selamat secara keseluruhan. Apabila seorang melepaskan diri dari hukum syari'at setelah mengetahui hal ini, maka ia akan termasuk dari golongan kafir zindiq. na'udzubillahi min dzalik.

Sebaliknya, apabila sudah kokoh dalam pegang hukum syariat namun bertauhid af'al, berarti dia sudah lepas dari syirik yang jali (nyata) namun masih berkumbang pada syirik yang khafi (tersembunyi). Allah Ta'ala mengisyaratkan ini dengan firman-Nya :
" Wa maa yu'minu aktsaruhum wa hum musyrikun "
Artinya : Sebagian besar dari mereka itu tidak beriman, bahkan mereka itu termasuk orang-orang yang menyekutukan ( Allah ).

Syyid 'Umar Ibnul-Farid r.a. berkata melalui syairnya :
Andai terlintas dalam relungku
Suatu kehendakyang tergetarkan
Remuklah aku dalam kumbangan kemurtadan.


Apabila seseorang masih belum mempunyai anggapan yang benar tentang hal ini, berarti dia masih jauh untuk meraih gelar mukminin yang sempurna. Namun apabila dia sudah ber-musyahadah dengan benar, bahwa tidak ada yang berbuat pada hakikatnya melainkan Allah, dan tidak ada yang mawjud pada hakikatnya melainkan Allah. Maka dia termasuk kedalam golongan ini dijanjikan dua surga ma'rifatullah di dunia dan kedua adalah syurga akhirat sebagaimana banyak diceritakan dalam Alquran dan Al-Hadits.

Syaikh 'Alimul-'Allamah al-Bahrul-'Ariq 'Abdullah Ibnu Hijazi asyarqawi al-Mishri r.a. berkata :
" Barangsiapa memasuki surga ma'rifatullah di dunia, niscaya dia tidak akan berhasrat lagi pada isi surga di akhirat yang berupa bidadari, istana, pakaian, makanan, dan lain-lain. Hasratnya hanyalah ingin sedekat-dekatnya dengan Allah Ta'ala, dengan ru'yatullah ( melihat Allah ) di akhirat kelah ".

Ni'mat tertinggi bagi 'arif billah adalah ru'yatullah ( melihat Allah ). Kenikmatan yang jauh sekali apabila dibandingkan dengan kenikmatan surga dalam rupa bidadari, istana, pakaian, dan lain-lainnya. Sedangkan ma'rifatullah ( mengenal Allah ) yang dirasakan para 'arif billah di dunia ini hanyalah sebagian kecil saja dibandingkan dengan ru'yatullah di akhirat kelah.

Untuk itu seorang salik hendaklah selalu ber-musyahadah dalam wihdatul-af'al yang merupakan jalan untuk memandang keindahan Zat Wajibul Wujud.

Syaikh 'Abdul Wahhab asy-Sya'rani mengatakan dalam kitab Jawahiru wad-Durar, mengutip perkataan Syaikhul-Akbar Ibn 'Arabi :
" Semua keadaan ini adalah dinding yang menghalangi dalam memandang Haqq Ta'ala. Padahal pada hakikatnya Dia juga yang berbuat di balik semua keadaan ini, sebagaimana bayang-bayang kayu di dalam air sungai, tidak akan mungkin dapat menahan lewatnya perahu yang didayung. sedangkan perahu yang tidak berani melewatinya, dia menyangka bahwa kayu penghalang itu benar-benar ada. Hal ini hanyalah persangkaan semata bagi mereka yang masih belum terbuka hijab-nya sehingga tidak mampu memandang pelaku yang Hakiki yaitu Allah Ta'ala."

Berkaitan dengan perbuatan seseorang, ada beberapa pendapat dari berbagai mazhab atau aliran.
pertama adalah mazhab Mu'tazilah
Mazhab ini berpendapat dan beriktikad bahwa apapun yang dilakukan oleh makhluk pada dasarnya terjadi karena kekuasaan makhluk itu sendiri. Kemampuan makhluk inilah yang memberi bekasan hasil pekerjaan itu.
golongan ini tidak menerima suatu perkataan bahwa semua perbuatan pada hakikatnya berasal dari Allah. Sehingga mereka yang berpaham seperti ini termasuk golongan yang fasiq.

kedua
adalah mazhab Jabariyyah
Mazhab ini memiliki iktikad kuat bahwa semua perbuatan makhluk pada hakikatnya adalah perbuatan Allah. Mereka tidak memandang bahwa hamba sebagai sandaran hingga akan menerima balasan juga. karena itu mereka yang mengikuti dan berpaham seperti ini tidak akan dapat mencapai derajat kesempurnaan. Mazhab ini jelas-jelas bertentangan dengan hukum syari'at.

Ketiga
adalah mazhab Asy'ariyyah
Mazhab ini berkeyakinan bahwa semua perbuatan pada makhluk pada hakikatnya adalah perbuatan Allah. Namun makhluk tersebut masih diberi kekuasaan untuk berusaha atau berikhtiar. Namun usaha dan ikhtiar itu sendiri tidak memberi bekasan apapun, karena hasil sepenuhnya ditentukan oleh Allah Ta'ala.
Iktikad dari golongan ini adalah iktikad yang dapat dijadikan pegangan dan dapat menyelamatkan didunia dan diakhirat. Namun tingkatan ini masih belum mampu untuk menghantarkan pada derajat kasyaf atau ketersingkapan, karena masih adanya usaha atau ikhtiar. mereka ini masih dalam keadaan tertutup dan belum dapat merengkuh tauhid af'al.

Keempat
adalah ahlul-kasyaf
Golongan ini adalah suatu kelompok yang sudah terbuka segala tirai yang menyekat pandangannya. Penglihatan dan pemahamannya telah tersingkap serta tembus hingga mereka merasa senantiasa berhadapan dan ber-musyahadah terhadap keesaan Allah Ta'ala, bahwa semua perbuatan yang ada pada hakikatnya adalah perbuatan Allah yang disandarkan pada makhluk-Nya.

Misalnya pena yang berada ditangan seorang penulis dan menghasilkan tulisan ketika digoreskan. Pena tersebut pada hakikatnya tidak memiliki kemampuan apa-apa untuk membuat suatu tulisan tanpa adanya sang penulis yang memegangnya.

Itulah kebenaran sesungguhnya. Perbuatan apapun yanh terjadi di alam ini pada hakikatnya adalah perbuatan Allah Ta'ala.

Syaikh 'Abdul-Wahhab asy-Sya'rano QS mengatakan bahwa Syaikh Ibn 'Arabi r.a. telah menjelaskan hal ini dalam kitab al-Futuhul-Makkiyah pada bab 422 bahwa yang dimaksud dengan perbuatan Allah yang disandarkan kepada hamba itu ialah karena hamba inilah yang menanggung beban siksa dan mendapat anugerah pahala.

Apabila seorang ter-hijab dalam suatu persangkaan bahwa semua amal perbuatan dirinya adalah perbuatan dirinya sendiri, berarti Allah sedang meletakkan persangkaan demikian itu pada dirinya seperti sebagai suatu cobaan.

Namun sekiranya Allah hendak memasukkan seseorang ke dalam derajat ihsan niscaya akan tipislah hijab itu dan dia akan menyaksikan bahwa semua amal perbuatan itu tiada lain adalah perbuatan Allah, sedangkan dia sendiri tidak berkuasa apa-apa dari perbuatan tersebut.

Demikian selanjutnya, apabila seorang hamba terus-menerus ber-musyahadah secara benar, pasti akan muncul rasa takut dalam dirinya kalau-kalau keyakinannya goyah.
Namun demikian, setiap salik harus memegang suatu adab sopan santun dengan sekedar mengatakan bahwa segala perbuatan yang jahat disandarkan kepada dirinya sendiri, sebagaimana firman Allah Ta'ala :
" Ma ashabaka min hasanatin fa minallah wa ma ashabaka min sayyi'atin fa min nafsik "
Artinya : Kebaikan apa saja yang menimpa dirimu maka itu berasal dari Allah, sedangkan keburukan apa saja yang menimpa dirimu maka itu berasal darimu.

Syaikh Yusuf Abu Zarrah al-Mishri QS berkata ketika belia sedang memberikan pelajaran di Masjidil haram bahwa tidak selayaknya mengatakan bahwa kejahatan itu berasal dari Allah, kecuali ketika dalam suasana pembelajaran tentang masalah ini.

Syaikh Ibn Hajar r.a. menjelaskan di dalam syarah Arba'in tentang sabda Nabi s.a.w. yang terdapat pada do'a iftitah " wasy-syarru laysa ilayk " ( kejahatan itu bukan untukmu ) :
" Maksud kalimat ini adalah untuk mendidik adab, karena tidak selayaknya mengatakan sesuatu yang bernada menghina Allah Ta'ala seperti mengatakan " Ya Allah yang menjadikan anjing atau Ya Allah yang menjadikan babi, meskipun sebenarnya memang demikian bahwa anjing dan babi itu adalah makhluk yang diciptakan Allah Ta'ala "

Syaikh Abdul Wahhab asy-Sya'roni QS pernah mengajukan pertanyaan kepada guru beliau, Syaikh Ali al-Khawashi tentang apa yang dimaksud dengan pengertian usaha dan ikhtiar sebagaimana yang dikemukakan mazdhab Asy-'ariyah.
beliau menjawab :
" Yang dimaksud dengan pengertian usaha atau ikhtiar menurut imam Asy'ari itu ialah berhubungan dengan kehendak makhluk dalam segala peristiwa yang sesuai dengan takdir Allah Ta'ala. Manakala terjadi kehendak makhluk dengan takdir-Nya maka inilah yang dimaksud dengan usaha atau ikhtiar bagi makhluk tersebut. sedangkan hasil dari usaha atau ikhtiar itu sendiri juga merupakan suatu takdir. "

Syaikh 'Abdul Wahhab asy-Sya'rani QS juga pernah mendengar perkataan gurunya, Syaikh 'Ali al-Khawwash yang mengatakan bahwa setiap orang seharusnya menyadari bahwa semua perbuatan makhluk itu tidak memberi bekasan. Adapun pandangan bahwa ada bekasan dari perbuatan makhluk itu hanyalah dalam suatu pengertian hukum saja. kebanyakan manusia tidak dapat membedakan antara hukum dan bekasan-bekasan ini.

Selanjutnya Syaikh 'Ali r.a. mengatakan bahwa manakala Allah Ta'ala berkehendak untuk mengadakan gerak pada apa saja dengan makna yang ada padanya, maka yang demikian itu tidak akan berwujud tanpa adanya materi sebagai sarana perbuatan itu. Mustahil suatu pekerjaan terjadi tanpa adanya tempat untuk melahirkannya.

Tempat yang dimaksud itu adalah seorang hamba yang dijadikan sebagai sarana untuk melakukan pekerjaan itu, walaupun sebenarnya pekerjaan hamba itu tiada memberi bekasan sedikitpun. Pahamilah ini karena ini masalah cukup rumit.

Syaikh 'Abdul Wahhab asy-Sya'rani berkata lagi :
" Aku mendengar saudaraku, Afdaluddin r.a. berkata bahwa mukmin ( hamba yang menjadi tempat ) itu sama sekali tidak mempunyai qudrah ( kekuasaan ) tetapi hanya sekedar menerima bekasan Allah Ta'ala karena sifat qudrah itu tidak bisa dipisahkan dengan sifat-sifat-Nya. Maka anggapan bahwa mukmin itu memiliki qudrah adalah anggapan yang tidak benar "

Syaikh Adaluddin r.a. selanjutnya mengatakan bahwa beliau sependapat dengan golongan Asy'ariyah tentang pengertian qudrah hamba dan tentang meniadakan perbuatan hamba.
Syaikh 'Abdul Wahhab asy-Sya'rani r.a. mengatakan lagi dengan mengutip perkataan Syaikh Muhyidin Ibn 'Arabi QS. dalam kitab al-futuhul Makiyah bab 120 bahwa menetapkan adanya qudrah bagi mukmin dengan meniadakan dirinya sebagai pelaku adalah merupakan permasalahan yang amat sulit karena melibatkan tentang " pekerjaan ".
Syaikh Muhyidin QS. selanjutnya mengatakan bahwa Allah belum juga menghilangkan kesamaran dalam pikiran beliau tentang masalah ini, yakni tentang meniadakan pelaku dengan adanya perbuatan. Namun ketika beliau menyusun kitab al-futuhul makkiyah itu pada tahun 633 H, yakni saat hendak menguraikan tentang pengertian usaha atau ikhtiar sepanjang pengertian golongan asy'ariyah atau tentang apa yang dinamakan dengan perbuatan makhluk oleh golongan muktazilah, Allah memberikan taufiq kepada beliau dengan membukakan pandangan yang cerah tentang asal mula kejadian makhluk.
Allah berfirman kepada beliau di dalam sir ( rahasia yang paling dalam ), " Perhatikanlah tentang asal mula Aku jadikan makhluk. Apakah kamu merasa heran pada waktu itu ?.
" tidak, Ya Tuhanku."
" Begitulah yang terjadi pada segala yang baru. Tidak ada sesuatupun yang dapat memberi bekasan. Akulah Tuhan yang menjadikan segala suatu tanpa sebab, sebagaimana Aku tiupkan Ruh ke tubuh 'Isa atau menyusun kembali tulang-tulang burung yang berserakan hingga hidup kembali. "

Kemudian beliau bertanya kepada Tuhan, " Ya Tuhanku, kalau begitu, Engkau pulalah yang menjadi objek dari firman-Mu lakukanlah ( perintah ) dan jangan lakukan ( larangan ).
" Ketika Aku perlihatkan sebagian ilmu-Ku, hendaknya engkau berlaku tertib penuh adab. Aku tidak suka dengan banyaknya pertanyaan tentang perbuatan-Ku, sebagaimana telah Aku katakan la yus'alu 'amma yaf'alu wa hum yus'alun ( Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya namun kalian ditanya tentang perbuatan kalian ). "

Syaikh 'Abdul Wahhab asy-Asya'rani r.a. berkata lagi, " Renungkanlah ini semua, karena hal ini sangat indah. "
Maka dari itu seorang salik hendaknya senantiasa ber-musyahadah dengan tauhid af'al ini sehingga dia akan sampai kepada Allah Ta'ala dan dapat meraih keridhaan-Nya. Bagi para 'Arifbillah, tauhid af'al ini merupakan tingkatan paling bawah yang harus dilalui diantara tingkatan-tingkatan yang akan dijelaskan pada bab selanjutnya.

Namun demikian, ada juga diantara sebagian orang yang majzub yaitu orang yang ditarik langsung ke hadirat Allah Ta'ala dengan tanpa proses latihan sebagaimana lazimnya. orang yang demikian ini langsung bertauhid Zat, sifat, asma', dan af'al Allah Ta'ala tanpa terlebih dahulu menerima pelajaran dari seorang Syaikh dan tanpa melakukan latihan-latihan.

Dengan tingkatan tauhid Af'al ini maka seorang salik akan mencapai natijus-suluk ( hasil perjalanan ) dan Tsamarah ( buah ) darinya. Adapun yang dinamakan salik itu adalah orang yang penuh kesungguhan dan ketekunan dalam melaksanakan ibadah kepada Allah Ta'ala.

Carilah Pembimbing ( Mursyid )






Tidak ada komentar: