Allahumma sholli 'ala Muhammad
Pada pasal ini menjelaskan tentang tauhid asma' artinya menegaskan Allah Ta'ala pada semua nama yang diciptakan-Nya, cara untuk ber-musyahadah terhadap keesaan nama-nama Allah Ta'ala ini adalah dengan memandang dengan mata jasmani dan ditanggapi dengan pandangan hati bahwa nama-nama yang ada, pada hakikatnya bersumber pada satu nama yaitu Allah Ta'ala.
Semua yang ada pada alam ini pasti memiliki nama, padahal secara hakikat tidak ada yang maujud selain Allah Ta'ala, semua yang ada di alam ini hakikatnya adalah khayal atau semu belaka oleh sebab Nyata wujud Allah pada segala sesuatu. Maka dari itu dapat dikatakan bahwa semua nama yang melekat pada alam ini hakikatnya adalah semu juga, yang bersumber dari nama Allah sebagai nama Zat Yang Satu.
Wujud Allah itu qa'im ( berdiri sendiri ) pada setiap nama sesuatu. Kenyataan dari tiap-tiap nama pada segala sesuatu itu adalah satu juga, yakni bahwa semuanya sebagai bukti dari Wujud Allah Yang Satu. Pengertian ini bukan berarti ittihad ( Allah bersatu dengan makhluk) dan bukan pula hulul ( Allah tinggal dalam diri makhluk ). Maha suci Allah dari kedua pengertian itu.
Dapat dikemukakan suatu permisalan, sebuah kaca yang bening diwarnai dengan aneka warna, merah, kuning, hijau, dan sebagainya. Kemudian kaca itu diletakkan di bawah sinar matahari. tentu akan terlihat bermacam-macam warna pada bumi sebagaimana warna yang ada pada kaca tadi.
Dari perumpamaan ini dapat dilihat bahwa cahaya matahari tidak dapat terpisahkan dari zat matahari itu sendiri. sedangkan adanya bermacam-macam warna yang dihasilkan dari kaca tadi menunujukkan keesaan matahari.
Maha Suci Allah dari segala perumpamaan dan permisalan. Masalah ini hendaklah dipahami dengan pemahaman yang sempurna serta bersama kasih sayang-Nya, agar dapat tercapai maksud yang sebenarnya.
Apabila seorang 'arif telah sampai pada maqam ini kemudian Allah Ta'ala tajalli atau menyingkapkan Diri kepadanya, maka akan tersingkaplah baginya dinding-dinding penyekat hingga dia dapat memandang bahwa segala nama yang zhahir itu menjadi lenyap dalam keesaan Allah Ta'ala.
Syaikh 'Abdullah Ibn Hijazi asy-Syarqawi al-Mishri r.a. mengatakan dalam wirid sahur :
" Manakala Allah Ta'ala tajalli ( tampak nyata ) pada seorang hamba dengan nama-nama-Nya, niscaya hamba tersebut akan melihat bahwa semua peristiwa yang terjadi di alam ini semuanya merupakan Kebenaran Allah Ta'ala, karena penampakan lahir alam ini adalah Dzahir-Nya Allah menurut pandangan hatinya, Berdirinya alam itu adalah karena adanya sifat qayyum ( Maha Berdiri ) dan kekekalan Allah Ta'ala. Sehingga tidak mungkin alam itu berdiri dengan sendirinya dan seorang hamba tidak akan mampu membedakan satu persatu tentang keadaan alam ini. Jelasnya makhluk tersebut hanyalah sebagai sandaran semata. Hamba tersebut memandang bahwa Allah adalah hakikat segala sesuatu, sebagaimana firman-Nya :
" Fa 'aynamaa tuwallu fatsamma wajhullah "
Artinya : Kemanapun kalian menghadap, di situlah Wajah Allah.
Oleh sebab hal yang demikian inilah, terkadang muncul perkataan yang keluar tanpa sadar dan tidak dibenarkan oleh hukum syari'at dan merupakan bahaya dari musyahadah. Baginya sudah tidak terlihat lagi alam ini karena begitu jelasnya dalam memandang Wujud Allah Yang Mutlak." Fa 'aynamaa tuwallu fatsamma wajhullah "
Artinya : Kemanapun kalian menghadap, di situlah Wajah Allah.
Syaikh 'Abdul-Karim al-Jilli QS, mengatakan bahwa terkadang seorang hamba tidak memiliki pandangan terhadap makhluk oleh sebab tampak jelasnya dalam memandang Haq Ta'ala, sampai-sampai sang hamba tersebut berkata, " Tidak ada yang maujud ini selain Wujud Allah." hal ini terjadi karena ia sedang dalam keadaan mabuk dan sedang gaib, sebagaimana yang telah dilakukan al-Hallaj. Perkataan orang yang sedang mabuk seperti ini tidak dapat dijadikan pegangan.
Syaikh 'Abdul-Qadir al-Jailani QS. mengatakan, andaikata peristiwa al-Hallaj itu terjadi saat ini, pasti akan aku cegah orang untuk membunuhnya.
Ada dua cara untuk bermusyahadah tentang hal ini, namun keduanya mempunyai satu tujuan. Pertama adalah pandangan jami' yaitu musyahadah ( pandangan batin ) yang diawali dengan kenyataan alam yang ini kemudian memusatkan pandangan kepada Yang Satu yaitu Allah Ta'ala. Inilah yang dinamakan dengan 'syuhudul-katsrah fil wahdah' atau memandang yang banyak pada yang satu.
Kedua adalah pandangan mani' atau pandangan pencegahan. Pandangan yang dicegah itu adalah suatu pandangan bahwa segala kenyataan pada makhluk adalah dari makhluk juga. Seharusnya pandangan itu harus sesuai dengan istilah 'syuhudul-wahdah fil-kasrah' artinya memandang yang satu pada yang banyak.
Allah Ta'ala berfirman : " Wa lillahil-amru wa ilayhi turja'un "
Artinya : Kepunyaan Allahlah segala perkara itu dan semua itu akan kembali kepada-NyaKetika seorang salik melihat seorang yang murah, hendaknya dia menanggapi dalam hatinya bahwa sifat pemurah itu adalah milik Allah Ta'ala. Yang terlihat pada seorang tersebut hanyalah penampakan dari nama-Nya yaitu al-Karim ( yang Maha Pemurah ).
Demikianlah seterusnya, ketika dia melihat seorang berwatak sabar, maka sesungguhnya watak yang ada pada orang tersebut tiada lain merupakan penampakan nama Tuhan as-Shabur ( Yang Maha Sabar ).
Sebagian dari para 'arif billah mengemukakan pendapatnya tentang sifat-sifat Allah. Menurut mereka Allah tidak mempunyai sifat. Allah hanya memiliki nama-nama saja. Mereka berpendapat seperti ini dengan mendasarkan diri pada dalil naqli dan dalil aqli.
Dalil naqli yang dipegangnya adalah firman Allah dalam Ayat Al-qur'an : " Walillahil-asma'ul-husna fad'uhu biha "
Artinya : " Allah memiliki nama-nama yang indah, maka berdo'alah dengan nama-nama itu."
Juga hadis Rasulullah s.a.w. :
" Wa innama tad'una man huwa sami'un bashir wa mutakallimun wa huwa ma'akum aynama kuntum " ( sesungguhnya yang kalian seru itu adalah Dia yang Maha Mendengar, Maha Melihat, maka berkata-kata, dan Dia bersamamu di mana-mana )"
Dalil aqli adalah dalil akal, atau alasan yang sejalan dengan pertimbangan akal. Menurut logika akal, sifat adalah suatu yang melekat pada zat, dengan kata lain bahwa sifat adalah suatu tambahan yang melekat pada zat. Apabila Allah memiliki sifat berarti Dia majhul ( tidak dikenal ) kalau sifat-sifat itu tidak melekat pada Zat-Nya.
Kalau demikian, Maha Sucilah Dia dari segala sifat karena Zat Allah tidak berhajat pada sifat. Zat Allah adalah yang paling dikenal dari segala yang dikenal serta tidak majhul.
Inilah penjelasan tentang tauhid asma' yang merupakan maqam kedua pada kalangan 'arif billah, setelah matang dalam melewati tauhid af'al dengan tekun. Ketekunan itupun merupakan anugerah Allah Ta'ala semata bagi para salik atau mereka yang dianugerahi-Nya secara majzub. maqam kedua ini merupakan hasil dari buah dari maqam yang pertama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar